Cita-Cita Sang Boneka
Cita-cita adalah sebuah subtansi yang merupakan perwujudan dari apa yang seseorang inginkan di masa yang akan datang. Cita-cita datang dari hati nurani seseorang, mereka yang merasakan, mereka pula yang akan mengejarnya. Tanpa tekanan dari manapun — seharusnya.
Namun hal itu tak berlaku untukku. Seorang Finno Anderson — sang boneka yang dikendalikan sesuai ambisi orang lain, dan tak berhak memiliki cita-cita dari hati nurani. Seluruh tubuhku serasa diikat oleh benang-benang, lalu orang lain bertindak sebagai puppet master untuk mengendalikanku. Mengapa aku bisa bilang begitu?
Aku adalah anak tunggal dari pasangan suami-istri yang menjadi pemilik sebuah perusahaan multinasional ternama. Dan seperti ambisi para orangtua kebanyakan, anak-anak mereka kelak harus menjadi penerus mereka, harus berjalan di jalan yang telah mereka persiapkan dan sang anak tidak memiliki hak untuk mencari jalan hidupnya sendiri. Klasik.
Dan prinsip itulah yang orangtuaku terapkan kepada anak semata wayang mereka. Mereka selalu mengikatku dengan sederet aturan-aturan mereka. Mereka memberiku berbagai macam jenis kursus — yang mendukung untuk menjadi penerus mereka. Tanpa memperhatikan apakah anaknya sendiri mau atau tidak. Ironis kan?
Awalnya aku hanya menerima saja segala perlakuan mereka padaku. Awalnya aku hanya berpikir jika mereka ingin melakukan yang terbaik untukku. Namun lama-kelamaan mereka semakin mengekang kebebasanku. Dan aku semakin sulit untuk menentukan jalanku sendiri.
Aku melampiaskan perasaan tertekanku dengan melukiskan apa yang aku rasakan melalui kanvas. Dan hasilnya, selalu aku pajang di ruangan kosong yang memang menjadi tempatku menyendiri. Lalu suatu hari temanku datang berkunjung ke rumahku, dan ketika ia masuk ke kamarku, ia melihat kanvas lukisan yang belum selesai serta alat lukisku yang tergeletak begitu saja di kamarku.
“Itu lukisan buatanmu sendiri?” tanyanya sambil mengagumi apa yang ia lihat. Aku hanya tersenyum sebagai balasannya.
“Wah, lukisan ini keren, sungguh! Kau berbakat jadi Pelukis yang hebat nantinya. Kau tau, ketika aku melihat lukisanmu ini, aku bisa merasakan perasaan yang kau curahkan di dalamnya, jarang aku bisa menikmati lukisan seperti ini loh.” pujinya.
“Aku tak sehebat yang kau pikirkan kok.” ujarku “Dan menjadi pelukis? Dulu memang aku sempat menginginkannya, tapi kurasa itu mustahil untuk diwujudkan oleh boneka sepertiku, Rietta.” Kulihat Henrietta sedikit terkejut dengan apa yang kuucapkan. Lalu ia pun menatapku, “Setiap orang punya hak untuk mempunyai cita-cita juga impian yang bisa ia wujudkan.”
“Itu lukisan buatanmu sendiri?” tanyanya sambil mengagumi apa yang ia lihat. Aku hanya tersenyum sebagai balasannya.
“Wah, lukisan ini keren, sungguh! Kau berbakat jadi Pelukis yang hebat nantinya. Kau tau, ketika aku melihat lukisanmu ini, aku bisa merasakan perasaan yang kau curahkan di dalamnya, jarang aku bisa menikmati lukisan seperti ini loh.” pujinya.
“Aku tak sehebat yang kau pikirkan kok.” ujarku “Dan menjadi pelukis? Dulu memang aku sempat menginginkannya, tapi kurasa itu mustahil untuk diwujudkan oleh boneka sepertiku, Rietta.” Kulihat Henrietta sedikit terkejut dengan apa yang kuucapkan. Lalu ia pun menatapku, “Setiap orang punya hak untuk mempunyai cita-cita juga impian yang bisa ia wujudkan.”
Sejujurnya aku masih ragu dengan diriku sendiri. Bolehkah seorang boneka sepertiku mempunyai cita-cita? Bolehkah aku menentukan jalanku, sedangkan aku adalah boneka tanpa ambisi. Aku hanyalah sebuah boneka yang diharuskan menjalani peran yang telah diatur oleh pemilikku.
“Kau ini manusia, Finno. Kau berhak menentukan cita-citamu sendiri. Tak seorang pun bisa menghalangimu. Jika kau dapat berjalan di atas cita-cita dan kehendakmu sendiri, percaya padaku, itu adalah hal yang terhebat!” Lalu Rietta menepuk pundakku “Makanya ada pepatah ‘Gapailah cita-citamu setinggi langit’ kan?” ujarnya tersenyum.
Perlahan, kepercayaan diriku mulai bangkit, mengalahkan sikap pesimis yang bersemayam dalam diriku selama ini. Ya, Finno Anderson mencoba menjadi sebuah boneka yang bisa berjalan dengan kakinya sendiri.
Tapi seperti yang kalian ketahui, sang boneka tetaplah mempunyai seorang pemilik. Dan sang pemilik takkan mau bonekanya berjalan tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya. Hal itu juga terjadi padaku. Ketika aku mengutarakan keinginanku untuk mendalami seni lukis. Orangtuaku tak menyetujuinya.
“Tak ada karier yang prospek dalam bidang lukis”
“Lebih baik kau meneruskan perusahaan orangtuamu ini, maka kau tak perlu repot-repot memikirkan masa depan kariermu. Kau hanya tinggal belajar menjadi seorang penerus, cukup dengarkan apa yang kami katakan padamu!”
Ucapan mereka terus terngiang di pikiranku. Mendengarnya, semakin meyakinkanku jika kedua orangtuaku hanya menganggapku sebagai boneka yang digerakkan untuk memeuhi keinginan mereka. Apa mereka menganggapku sebagai anak mereka? Mungkin tidak.
“Aku ingin membuktikan pada mereka. Bahwa aku bukan boneka yang bisa mereka gerakkan seenaknya. Aku harus bisa lepas dari kendali mereka, bagaimanapun caranya.” Lalu aku mencoba itu menyusun sebuah rencana untuk mencapai apa yang kuinginkan.
“Tak ada karier yang prospek dalam bidang lukis”
“Lebih baik kau meneruskan perusahaan orangtuamu ini, maka kau tak perlu repot-repot memikirkan masa depan kariermu. Kau hanya tinggal belajar menjadi seorang penerus, cukup dengarkan apa yang kami katakan padamu!”
Ucapan mereka terus terngiang di pikiranku. Mendengarnya, semakin meyakinkanku jika kedua orangtuaku hanya menganggapku sebagai boneka yang digerakkan untuk memeuhi keinginan mereka. Apa mereka menganggapku sebagai anak mereka? Mungkin tidak.
“Aku ingin membuktikan pada mereka. Bahwa aku bukan boneka yang bisa mereka gerakkan seenaknya. Aku harus bisa lepas dari kendali mereka, bagaimanapun caranya.” Lalu aku mencoba itu menyusun sebuah rencana untuk mencapai apa yang kuinginkan.
Kutorehkan berbagai warna di atas kanvas, mengikuti alur sketsa yang telah kubuat sebelumnya. Dan kuulangi langkah tersebut terus menerus hingga membentuk sebuah gambar di kanvas tersebut. Aku tersenyum ketika melihat karyaku yang baru selesai kubuat. Adalah gambar seekor kupu-kupu yang hinggap di tangan seorang wanita, yang terlihat di atas kanvasku. Terlihat sang wanita mengagumi kupu-kupu tersebut. Wanita tersebut diibaratkan seperti seseorang yang terkekang dan tak bisa bebas, dan iri melihat kupu-kupu tersebut bisa terbang dan hinggap dimana pun yang diinginkannya.
‘Kupu-kupu, lambang kebebasan, hal yang mungkin tidak dipunyai sang wanita.’ batinku. Lukisan tersebut mengingatkan pada diriku sendiri, hmm…
‘Kupu-kupu, lambang kebebasan, hal yang mungkin tidak dipunyai sang wanita.’ batinku. Lukisan tersebut mengingatkan pada diriku sendiri, hmm…
Lukisan ini akan kukirim ke Italia untuk diikutkan dalam pameran seni dunia yang diadakan oleh negara tersebut. Pameran seni tersebut menggunakan konsep ‘Arti Kebebasan’ sebagai tema utamanya. Diriku yang pada saat itu tertarik dengan pameran tersebut mencoba mengirimkan satu lukisanku ke sana. Tanpa sepengetahuan kedua orangtuaku tentunya.
“Yup, waktunya dipaketkan!” lalu aku bergegas keluar kamar dan mulai menyiapkan apa yang kuperlukan.
“Yup, waktunya dipaketkan!” lalu aku bergegas keluar kamar dan mulai menyiapkan apa yang kuperlukan.
Sebulan kemudian, sepucuk surat dimasukkan ke dalam kotak pos rumahku. Kemudian aku pun mulai membuka dan membaca isinya. Dan aku membaca sebuah alinea yang membuatku tak berhenti untuk tersenyum sumringah.
‘Selamat, Karya Mr. Finno Anderson telah terpilih sebagai Karya Terbaik dalam Festival Seni Dunia 20xx yang dilaksanakan di Venesia, Italy.’
Tuhan, apa aku bermimpi? Apa yang kumimpikan semalam? Aku mencoba menampar pipiku, memastikan ini hanyalah mimpi. “—ouch” erangku kemudian. Sayangnya aku sedang ada di dunia nyata. Aku tak tahu apa yang Tuhan rencanakan untukku. Tapi aku percaya, hal ini adalah awal bagiku untuk menggapai cita-cita yang kuinginkan. Dan menjadi boneka bernyawa yang berjalan dengan langkahnya sendiri.
Aku tak bisa berhenti bersyukur dan tersenyum untuk itu.
Aku tak bisa berhenti bersyukur dan tersenyum untuk itu.
6 tahun kemudian…
“Mr. Anderson, jadwal anda bulan ini meluncurkan karya anda dalam Pameran seni di Helsinki dan Paris…” Asistenku membacakan jadwal yang harus kulaksanakan dalam waktu sebulan, dan aku harus menyiapkan 2 lukisanku untuk dipamerkan di sana.
“Terima kasih, Paula.” ucapku berterimakasih, lalu dibalasnya dengan anggukan singkat. Kemudian aku izin padanya untuk beristirahat sejenak di kafe yang ada di dekat sini. Menemui seseorang.
“Mr. Anderson, jadwal anda bulan ini meluncurkan karya anda dalam Pameran seni di Helsinki dan Paris…” Asistenku membacakan jadwal yang harus kulaksanakan dalam waktu sebulan, dan aku harus menyiapkan 2 lukisanku untuk dipamerkan di sana.
“Terima kasih, Paula.” ucapku berterimakasih, lalu dibalasnya dengan anggukan singkat. Kemudian aku izin padanya untuk beristirahat sejenak di kafe yang ada di dekat sini. Menemui seseorang.
Kini aku dapat mencapai cita-citaku sebagai pelukis yang diakui dunia di usia yang masih cukup muda, 23 tahun. Semenjak prestasi yang kudapatkan di pameran seni di Italia dahulu, aku semakin bersemangat untuk berkembang dan mengirimkan karyaku di berbagai festival dan pameran. Semakin banyak para kolektor yang mengenal karyaku dan membelinya, dari hasil penjualan tersebut kugunakan untuk membiayai kehidupanku.
Bagaimana degan orangtuaku? Mereka tetap berusaha untuk melarangku pada awalnya. Namun, aku tetap teguh dengan apa yang kuperjuangkan. Perlahan mereka mulai mengerti dan mengatakan padaku jika aku bebas untuk menentukan jalanku sendiri. Sungguh melepaskan diri dari aturan dan kekangan orangtuaku adalah hal yang sangat membahagiakan. Tak ada yang lebih membahagiakan dari ini.
Sesampainya aku di kafe, Seorang wanita bersurai pirang dan bermanik biru safir menyapaku dan memberiku senyuman. Aku bergegas menuju mejanya dan duduk di kursi kosong di depannya.
“Jadi kau sudah menjadi boneka yang ‘bernyawa’, Finno.” Henrietta mulai membuka pembicaraan sambil menatap manik violet milikku. Aku memberinya anggukan pelan.
“Jika kau tak memberiku motivasi waktu itu, aku tak akan menjadi diriku yang sekarang, dengan berjalan di kehidupanku sendiri, Rietta.” sahutku. Lalu Henrietta tertawa pelan. “Aku bosan saja melihatmu yang seperti boneka hidup saat itu, dan kau juga sahabatku. Sudah sewajarnya aku membantumu, kawan.”
Lalu kami tersenyum, menikmati hidangan yang tersaji dan menikmati waktu kami bersama dengan damai…
“Jadi kau sudah menjadi boneka yang ‘bernyawa’, Finno.” Henrietta mulai membuka pembicaraan sambil menatap manik violet milikku. Aku memberinya anggukan pelan.
“Jika kau tak memberiku motivasi waktu itu, aku tak akan menjadi diriku yang sekarang, dengan berjalan di kehidupanku sendiri, Rietta.” sahutku. Lalu Henrietta tertawa pelan. “Aku bosan saja melihatmu yang seperti boneka hidup saat itu, dan kau juga sahabatku. Sudah sewajarnya aku membantumu, kawan.”
Lalu kami tersenyum, menikmati hidangan yang tersaji dan menikmati waktu kami bersama dengan damai…
— Cita-cita adalah hak setiap manusia, dan akan terwujud apabila kamu mempunyai tekad untuk meraihnya — Finno Anderson
Cerpen Karangan: Finsa Permatasari
0 komentar:
Posting Komentar